November 27, 2013

S – O – L – O : Bukan Hanya Empat Huruf Saja (Part 1)

Katanya selalu pakai batik setiap jumat, tapi gak pernah tahu hubungan batik dan Solo.
Katanya bisa ngomong siji,loro,telu, tapi nggak tahu kalau pusat bahasanya ada di Solo.
Katanya suka nyanyi bengawan solo, tapi sekali pun belum pernah berkunjung ke Solo. #manaSOLOmu


Itulah celotehan teman yang saya temukan kala membuka linimasa twitter beberapa bulan yang lalu. Entah mengapa, walaupun itu tidak ditujukan langsung kepada saya, tetapi coletehan itu sangat menohok. Membaca tweet tersebut membuat saya merasa malu sendiri. Malu karena belum sekalipun berkunjung ke kota yang penuh dengan budaya dan adat asli Jawa tersebut. Hal inilah yang kemudian menantang saya ingin sesegera mungkin pergi mengunjungi Solo.

Adisumarmo, aaaaaaaaaaaaa.. Itulah teriakan demi membalas ucapan ‘selamat datang di Solo’ yang terdapat di atas pintu. Akhirnya sampai juga di Bandara Adisumarmo. (sebenarnya penulis awalnya terkejut dan takjub ketika tahu kalau Solo ternyata punya bandara juga, bandara internasional lagi hehe, red). Tidak perlu menunggu lama, hanya sekitar 50 menit saja dari Jakarta, si burung besi menghantarkan ke bandara yang terletak di perbatasan Boyolali dan Karanganyar ini. Jika ingin tantangan yang lain, Solo juga dapat ditempuh dari ibukota (Jakarta) dengan  bus malam atau pun dengan kereta api. Namun, pilihan kedua transportasi ini akan memakan waktu 11-12 jam untuk tiba di Solo.


Dak..duk..dak..duk. Begitulah bunyi hentakan kaki si kuda. Akhirnya terasa sudah nikmatnya menaiki kereta kuda sembari telinga dimanjakan oleh sepoinya angin pagi di Kota Solo. Dengan hentakan andong, terpacu semangat saya untuk mengulik kota penuh nuansa budaya dan sejarah khas Jawa kuno ini. Pilihan pertama saya pun jatuh kepada kuliner Solo. Monggo mba/mas!

Serabi Notosuman & Roti Mandarin
enaknya Serabi Notosuman dan Roti Mandarin. Karena suasana masih pagi hari, kue basah ini menjadi pilihan saya. Hanya mengeluarkan sekitar dua ribu rupiah, maka Serabi Notosuman rasa coklat yang lembut dan tipis ini sudah masuk ke dalam mulut. Nyam. Kemudian giliran Roti Mandarin yang menjadi santapan. Bentuknya hampir sama dengan Kue Lapis Surabaya, tetapi Roti Mandarin ini dilapi selai nenas di tengah dan ada rasa khas tersendiri dari kue basah ini. Kedua kuliner ini juga menjadi oleh-oleh khas Kota Surakarta lho. Bungkus!

FYI aja ya, Surakarta itu nama lain dari Solo. Jadi gini, awalnya bernama Surakarta. Namun, orang-orang Solo yang sempat saya tanyai mengatakan kalau belakangan ini lebih suka menyebutkan nama Solo karena sudah lebih mendunia dengan produk-produk dari Solo, seperti Batik Solo, Soto Solo, dll. Sedangkan untuk nama Surakarta, saat ini lebih sering digunakan untuk hal kepentingan formal atau pemerintahan.

Keraton Kasunanan
Go! Gapura Kraton pun menyambut kedatangan kali ini. Gapura didirikan sebagai pembatas dan pintu masuk ibu kota Kerajaan Kasunanan dengan wilayah sekitar. Gapura Kraton tidak hanya didirikan di jalan penghubung, namun juga didirikan di pinggir sungai Bengawan Solo sebagai dermaga dan tempat penyeberangan.


Harmoni budaya Jawa di Solo sangat kental kala memasuki Keraton Kasunanan. Masih menggunakan andong, bangunan-bangunan tua dan labirin klasik ala Jawa bergantian menghiasi penglihatan saya. Nuansa putih dan biru sangat khas terlihat dari keraton yang dirancang oleh Sultan Hamengkubuwono I ini.

Istana Kasunanan Surakarta ini juga memliki benteng pertahanan serta menara di bagian halaman. Panggung Sanggabuwono adalah menara yang katanya misterius sebagai tempat bertemu sang Raja dengan penguasa pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul. Inilah cerita khas dari warisan kerajaan klasik Jawa yang tidak dapat ditemui di daerah lain.











Bengawan Solo
Kalau mengingat nama Gesang, pasti akan mengingat Begawan Solo. Ya, seluruh syair dalam lagu tersebut akan benar-benar terintrepretasikan kala melihat aliran Begawan Solo. Tidak hanya itu, bonus berikutnya saat telah menyambangi Begawan Solo adalah kamu telah melihat aliran sungai terpanjang di Pulau Jawa, yang dahulu katanya pernah tempat mendarat pesawat.

Lebih mengamati, Bengawan Solo sendiri memiliki panjang yang mencapai sekitar 548,53 km. Sebab itulah sebenarnya Bengawan Solo berada di dua provinsi sekaligus yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dulunya, di sepanjang sungai ini dijadikan sebagai pusat-pusat perdagangan. Namun, saat ini kondisi Bengawan Solo cukup memprihatinkan dan terpuruk karena tidak terawat dengan baik sehingga saat ini hanya dijadikan tempat untuk penyeberangan dan irigasi saja.

Es Gempol Pleret
Memasuki siang hari, saatnya kembali menikmati kuliner asli Solo. Pelepas dahaga kali ini adalah Es Gempol Pleret. Gempol itu rasanya gurih dan asing dan bentuknya sebesar ibu jari sedangkan Pleret itu berbentuk tipis tetapi manis dengan sentuhan gula jawa. Saya sangat beruntung bisa menikmati kesegaran minuman yang berbahan dasar tepung beras ini. Saat ini, sungguh susah sekali menemukan penjual Es Gempol Pleret di Kota Solo dan lebih sering ditemukan saat musim puasa.

Nasi Liwet
Nasi Liwet. Menikmati nasi liwet di kala siang dengan perut keroncongan sangatlah nikmat. Makan ala lesehan dan beralaskan daun pisang menambah suasana khas Solo. Walaupun mirip dengan nasi uduk, tetapi gurihnya nasi liwet ini menjadi pembeda. Tambahan rasa pedas dan manis dari sayur labu, telur ayam dan suwiran ayam serta bubuhan sari santan (areh) di atasnya sungguh menyempurnakan Nasi Liwet ini. Maknyos!! Perjalanan dilanjutkan. Siap untuk kembali berpetualangan di Kota Surakarta.




(bersambung)

S – O – L – O : Bukan Hanya Empat Huruf Saja (Part 2 - End)



Pasar Klewer, Ning pasar klewer kutho solo,
Jare blonjo pamite kok ngumbah moto,
Pasare rame tenan,
Desek desekan nanging jo nganti grayangan.

Itulah lirik lagu Didi Kempot yang memberikan gambaran tentang Pasar Klewer di Jl. Dr. Rajiman, Gajahan. Memasuki lorong-lorong pasar, berbagai macam pakaian batik seakan menyapa. Segala jenis ukuran dan model batik dapat ditemukan disini. Selain batik, di pasar ini juga banyak dijual berbagai macam jenis tekstil. Namun, kala berada di Pasar Klewer, anda harus mengeluarkan jurus menawar jika ingin mendapatkan banyak batik. Satu lagi, jangan heran karena disini anda bisa mendapatkan batik cap atau tulis hanya dengan belasan ribu rupiah saja. ( siap-siap aja deh kantong bakal jebol seketika, hehe )


Quickly we move to Kampoeng Batik Laweyan. Ya, perasaan yang belum puas akan keindahan batik dengan cepat menghantarkan saya ke Laweyan. Namanya saja sudah berarti benang atau kapas yang dipintal (lawe) sehingga daerah ini sejak dahulu menjadi pusat perdagangan. Jangan bayangkan nuansa pasar seperti Klewer, tetapi di Laweyan ini akan terhampar puluhan rumah penduduk di suatu gang yang juga berfungsi sebagai tempat menjajakan batik mereka. Asyik memanjakan mata dengan motif-motik batik, arsitektur Jawa Kuno dengan pengaruh Eropa dan Islam di setiap bangunan rumah menjadi bonus tambahan. Eksotik adalah kata yang pantas menggambarkan kampung ini.

Rasanya ada yang kurang saat mengunjungi Kota Batik tanpa belajar membatik. Saya pun mencoba kursus batik singkat dan masih di Kampung Batik Laweyan. Tidak hanya saya, banyak juga turis yang ikut belajar membatik di kampung tua ini. Warga Laweyan mengaku bahwa setiap keturunan mereka selalu dan akan diajarkan cara membatik agar seni batik di Solo selalu dapat berkembang pesat seperti saat ini.


Solo Batik Carnival
Solo dikenal sebagai kota yang tidak pernah tidur, selalu ada sesuatu yang menarik dapat ditemukan di Solo. Banyak kegiatan yang membawa nama Solo di mata dunia, seperti Solo Batik Carnival maupun Solo Batik Fashion. Pemerintah Kota Surakarta sangat peduli dengan kemajuan Batik dengan mengadakan acara Solo Batik Carnival pada setiap bulan Juni. Peserta harus membuat kostum karnaval dengan bahan utama dari batik. Sementara itu, Solo Batik Fashion adalah peragaan busana batik setiap bulan Juli yang juga diselenggarakan oleh pemerintah. Walaupun tidak datang pada waktu yang tepat, saat di kampung batik saya dapat melihat beberapa foto dokumentasi acara serta obrolan dukungan acara ini dari warga setempat.


T arian khas Solo juga sangatlah menarik. Yah, inilah yang saya temukan kala dalam perjalanan menemukan wanita-wanita sedang latihan menari. Sepertinya wanita-wanita ini sedang diajarkan Tarian Bedhaya Ketawang. Tarian ini adalah klasik dan kental dengan budaya Jawa yang sakral. Kesan mistik sungguh terasa kala terdengar suara sinden diiringi instrumen. Mengapa tidak, tarian ini ternyata menggambarkan hubungan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Apabila pementasan, para bedhaya (penari) harus mengenakan kostum seperti pengantin Jawa. Selain itu, para penari juga harus mengikuti beberapa ritual sebelum pementasan. Wow!

Candi Sukuh
uh, perjalanan dilanjutkan dengan bis yang menghantarkan ke Candi Sukuh. Alasan mengunjungi candi ini adalah untuk melihat arsitekturnya yang mirip dengan piramida Suku Maya. Benar, dari luar terlihat seperti piramida terpotong layaknya trapesium. Keren! Selain itu, di dalam bangunan candi masa kerajaan Hindu ini memiliki sebuah relief manusia tanpa busana dan terdapat pula patung tanpa kepala. Sungguh eksotis nan erotis. Sayangnya tak banyak yang tahu akan candi ini, padahal cukup mengeluarkan Rp 2.500 saja sudah bisa masuk ke dalamnya.


Tawangmangu
v iva La Vida Solo. Seakan tiada akhir keindahan Kota Solo, wisata air pun menjadi pilihan terakhir. Udara dingin tak menjadi masalah saat mata telah terpesona pada air terjun yang berada di Tawangmangu. Terletak di kawasan hutan lindung menambahkan eksotika khas pengunungan nan berkabut. Kala lelah bermain air terjun dari tetesan seribu air terjun ini, menikmati sate kelinci para pedagang yang di sekitar air terjun adalah pilihan. Selain itu, untuk menikmati keindahan air terjun ini dapat juga dilakukan dengan hanya bermain flying fox, arum jeram atau hanya memandang alam yang juga dipenuhi oleh banyaknya kera yang berkeliaran kesana-kemari.


W ayang kulit pun menjadi pengantar untuk menyambut malam hari di Solo setelah seharian menikmati keistimewaan alam. Wayang kulit yang terdapat di daerah ini adalah Wayang Kulit Gagrak Surakarta. Walaupun tidak terlalu mengerti dengan bahasa yang digunakan, tetapi saya tetap dapat menikmati warisan budaya Solo ini.

X adalah angka romawi yang paling pas untuk seluruh kenikmatan yang tiada duanya setelah meminum Wedang Asle khas Solo. Dengan bermodalkan Rp 4.000 versi lesehan, Wedang Asle dapat ditemukan di daerah Manahan. Apa yang membedakannya dengan wedang-wedang lainnya? Jawabannya adalah racikan isinya. Selain menggunakan kuah santan, pada Wedang Asle ini juga ditambahkan gula pasir, agar-agar, dan roti tawar. Minuman khas Solo ini benar-benar bisa menghangatkan tubuh yang telah letih. *brb seruput wedang*
Wedang Asle & Gudeg Ceker

Yeay, it’s nom nom time (again). Setelah menikmati wedang, kini giliran Gudeg Ceker yang siap-siap menyeker-nyeker raungan perut lapar saya. Masih bergaya lesehan, saya menikmati kelezatan Gudeg Ceker buatan seorang ibu tua yang sudah bertahun-tahun menjual makanan khas ini. Porsinya yang tidak terlalu besar, sangat pas untuk suasana malam seperti ini (apalagi harganya juga murah). Gudeg Ceker ini sangatlah gurih ditambah dengan rasa asin. Beda dengan gudeg lainnya, cekernya (cakar ayam) sangatlah empuk dan dapat dilepaskan dengan sekali gigitan saja. Kenikmatan Gudeg Ceker ini sungguh dapat menutup dinginnya malam dengan kenangan Solo yang tak tergantikan. Sedikit informasi, biasanya masih banyak orang-orang yang mencari Gudeg Ceker ini hingga dini hari lho.


zzzzzz, rasanya mata sudah tidak dapat diajak untuk bekerja sama lagi. Rasa mengantuk kian tak terkalahkan saat hempusan angin malam Kota Surakarta semakin menerpa. Keseruan pengalaman mengelilingi keindahan Surakarta hari ini akhirnya berhenti dan kini membawaku ke alam mimpi. Saatnya kembali ke penginapan dan tidur.

             Itulah semua warna-warni tentang Solo. Sekarang sudah saatnya kita tidak menilai Solo hanya dari S - O - L - O saja, tetapi masih banyak lagi keunikan, kekhasan, keindahan dan keanekaragaman yang terpampang dari A hingga Z di kota yang dijuluki the spirit of Java  ini. Jadi, bukan saatnya lagi sekarang duduk diam dan hanya bilang cinta batik, tetapi belum sempat menjelajahi Solo. Let's visit Solo!

(end)